I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Materi muatan yang diatur dalam UU
tentang MD3 mengandung beberapa masalah, di antaranya adalah Materi muatan MD3
banyak yang bersifat teknis, yang semestinya menjadi materi muatan tata tertib
di masing-masing lembaga. Kemudian tugas dan wewenang MPR dilakukan sedikitnya
sekali dalam lima tahun atau pada saat tertentu, dengan demikian MPR hanya
bersidang hanya pada saat tertentu. Sedangkan pimpinan MPR dibentuk secara
permanent. Berdasarkan sifat, tugas dan wewenangnya tersebut, apakah pimpinan
MPR perlu bersifat permanent.
Selain
itu, dalam UU tentang MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR melaksanakan keputusan
MPR. Apakah pimpinan MPR dipandang cukup untuk mewakili anggota MPR di dalam
menjalankan tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur dalam UUD tahun 1945 dan
UU tentang MD3 ?
belum
lagi persoalan DPR yang memiliki 3 fungsi yakni fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan. Dalam melaksanakan tugasnya DPR membentuk alat kelengkapan. Selain
itu, setiap anggota DPR harus menjadi anggota fraksi, sebagai perpanjangan
tangan dari partai politik.
Revisi
yang terdiri dari nilai demokrasi yang telah tertanam kuat dalam kehidupan
bangsa Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan, sampai akhirnya pada masa
penyusunan naskah UUD 1945 oleh BPUPKI; kemudian dalam UUD 1945, sebagai
kontitusi pertama Republik Indonesia, sudah mengatur mengenai nilai-nilai
demokrasi dalam sistem Pemerintahan Republik Indonesia. Adapun bentuk demokrasi yang
dipilih, sesuai dengan kebutuhan berkaitan dengan karateristik bangsa dan
Negara Indonesia, yakni sistem demokrasi perwakilan.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas
dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawratan/perwakilan, diperlukan lembaga permasyarakatan rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu
mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan
aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan UU
MD3 ?
2.
Apa tujuan dengan adanya UU MD3
?
3.
Bagaimana isu-isu pokok
dalam pembahasan RUU MD3 ?
4.
Pasal-pasal apa saja yang cacat di UU MD3 ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Uandang-Undang MD3
UU MD3 ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Secara keseluruhan, UU
MD3 ini mengatur perihal fungsi, tujuan, hinga mekanisme-mekanisme teknis atas
institusi-institusi legislatif di Indonesia. UU MD3 ini sendiri terdiri atas
179 halaman yang mencakup 408 Pasal. Segala penjelasan dan pejabaran perihal
Susunan dan Kedudukan, Tugas dan Wewenang, Keanggotaan, Fraksi, Pengambilan
Keputusan, dan poin-poin lain tertera dengan jelas di bawah platform UU
tersebut.
Isu ini sendiri sesungguhnya telah lama
muncul dipermukaan. Pada Januari 2011, melalui putusan nomor
23-26/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU
MD3 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pasal yang berisikan perihal syarat pengambilan keputusan DPR untuk
usul menggunakan hak menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, dianggap tidak boleh melebihi batas
persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945.[1]
Ataupun ketika Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada tahun 2012, Ignatius
Mulyono, menganggap bahwa kajian yang lebih mendalam diperlukan sebelum
dilakukannya revisi terhadap UU MD3.[2]
Dan pada tahun lalu, dimana rapat Konsinyering Panja revisi UU MD3 yang
dilaksanakan di Wisma Kopo pada tanggal 18 Februari 2013 membahas seputar
isu-isu pokok dalam pembahasan revisi UU MD3.[3]
Selama proses inipun, revisi UU MD3 terus menemui kontroversi.
Puncaknya terjadi sehari sebelum Pemilihan Umum Presiden (Pilpres)
dilaksanakan pada 9 Juli 2014 yang lalu. Enam fraksi di DPR RI mendeklarasikan
“Koalisi Permanen” untuk masa kerja 2014-2019. Fraksi-fraksi yang
mendeklarasikan koalisi permanen itu berasal dari partai pengusung Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa di pemilu presiden, yaitu Golkar, Gerindra, Partai
Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai
Persatuan Pembangunan. Deklarasi itu dihadiri oleh para pimpinan fraksi. Antara
lain Setya Novanto (Golkar), Ahmad Muzani (Gerindra), Nurhayati Assegaf (Partai
Demokrat), Tjatur Sapto Edi (PAN), Hidayat Nurwahid (PKS) dan Hasrul Azwar
(PPP). Tjatur Sapto Edi mengatakan bahwa pembentukan Koalisi Permanen tersebut
bertujuan untuk membangun kehidupan politik nasional yang lebih baik ke depan.
Selanjutnya, Koalisi Permanen mendukung lembaga perwakilan yang
kuat, yang dimanifestasikan ke dalam sebuah undang-undang yang akan mereformasi
parlemen dan membuat wajah MPR, DPR, DPD dan DPRD kelak menjadi lebih
profesional, bertanggung jawab, dan bebas korupsi.[4]
Hal ini kemudian menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di level akar
rumput, salah satunya adalah penolakan yang diusung oleh Melany Tedja beserta
14.000 pendukung yang menandatangani petisinya. Dalam petisi tersebut,
dijelaskan perihal alasan mengapa perlu diadakannya judicial review RUU
MD3. Namun perlu diketahui terlebih dahulu perubahan-perubahan apa saja yang
terdapat dalam RUU MD3 tersebut.
B.
Tujuan Adanya
Undang-Undang MD3
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk
lembaga permusyawaratan/perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan
dimaksud bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih
demokratis, efektif, dan akuntabel.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang mengatur keempat lembaga tersebut, pada dasarnya sudah
membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan/perwakilan yang
demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27
tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diundangkan, masih
terdapat beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditata kembali melalui
penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Penggantian terhadap
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada materi muatan baru yang telah
melebihi 50% (lima puluh persen) dari substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tersebut.
Penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 terutama dimaksudkan
untuk menyesuaikan dengan perkembangan ketatatanegaraan, seperti dalam
pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang membatalkan beberapa ketentuan
yang mereduksi kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang.
Perkembangan lainnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-XI/2013
tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengurangi
kewenangan DPR dalam pembahasan APBN.
Di samping perkembangan sistem ketatanegaraan, pembentukan
Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksudkan pula
sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga perwakilan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling mengimbangi checks
and balances, yang dilandasi prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa serta sekaligus meningkatkan kewibawaan dan kepercayaan
masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga perwakilan yang memperjuangkan
aspirasi masyarakat.
Sejalan
dengan pemikiran di atas serta untuk mewujudkan lembaga perwakilan rakyat yang
demokratis, efektif, dan akuntabel, Undang-Undang ini memperkuat dan
memperjelas mekanisme pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas MPR, DPR, DPD,
dan DPRD seperti mekanisme pembentukan undang-undang dan penguatan fungsi
aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung tombak pelaksanaan tiga fungsi
dewan yang bermitra dengan Pemerintah, serta pentingnya penguatan sistem
pendukung, baik sekretariat jenderal maupun Badan Keahlian DPR.[5]
Yang termasuk
beberapa isu permasalahan terkait DPR
yang diatur dalam UU tentang MD3 diantaranya : Pelaksanaan fungsi legislasi,
yaitu; Mekanisme pembuatan Undang-Undang; Berdasarkan konstitusi, anggota
dewan mempunyai hak untuk mengajukan RUU. Namun pada kenyataannya, hak tersebut
belum digunakan secara optimal oleh anggota; Berdasarkan konstitusi, DPD juga
berhak mengajukan RUU terkait bidang yang sesuai dengan kewenangannya.
Sedangkan untuk mengajukan RUU harus berdasarkan prolegnas. Namum, dalam
penetapan Prolegnas tidak disebutkan porsi DPD dalam daftar prolegnas.
Dalam
hal pelaksanaan fungsi pengawasan : Saat ini hanya ada 6 kewenangan Pemerintah
yang tidak diotonomikan ke pemerintah daerah. Pada kenyataannya, komisi yang
tidak bermitra dengan kementerian yang mempunyai hubungan vertical dengan
instansi di daerah (SKPD), tetap melakukan kegiautan pengawasan (kunjungan
kerja) terhadap pelaksanaan tugas eksekutif sampai ke daerah, padahal mitra
kerja komisi tersebut hanya ada di pusat dan tidak mempunyai hubungan vertikal
dengan pemerintah daerah
Sementara itu jumlah AKD dan anggota AKD
tidak sebanding dengan mitra kerja dan beban kerjanya. AKD yang menjalankan
fungsi pengawasan, seringkali tidak efektif karena harus bermitra dengan lebih
dari 6 kementerian/lembaga, belum lagi Intensitas komunikasi anggota dengan
daerah pemilihannya kurang, karena pada masa reses, waktu reses lebih banyak
untuk kunjungan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, kemudian waktu
reses terlalu lama, mekanisme pengambilan keputusandengan system musyawarah
mufakat tidak menuntut semua anggota hadir, karena pengambilan keputusan
didasarkan pada kuorum fraksi, tranparansi dan akuntabilitas kinerja dan
anggaran kurang.
Untuk persoalan yang lain, dalam
konstitusi disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk ikut serta mebahas
RUU terkait kewenangannya. Frasa “ikut membahas” belum secara jelas diatur.
Pada tahapan apa” ikut serta membahas” dapat dilakukan dalam proses pembentukan
undang-undang, kemudian persoalan DPRD berdasarkan UU tentang MD3, DPRD
memiliki fungsi legislasi. Namun, sering, terjadi ketidakjelasan dan
ketidaktegasan sebagai pemegang kekuasaan membuat peraturan daerah. Selain itu,
posisi DPRD sebagai bagian legislative di daerah masih menjadi perdebatan
Belum lagi persoalan sistem pendukung
DPR, DPD, dan DPRD dalam UU tentang MD3 tidak diatur secara jelas, terutama
pengaturan mengenai badan fungsional
atau keahlian dan kemlompok pakar atau tim ahli, kemudian
pengelolaan anggaran, dilaksanakan oleh sekretariat jenderal. Dalam pasal 6 UU
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa pengguna anggaran
adalah pimpinan lembaga, dengan demikian seharusnya pengguna anggaran di
masing-masing lembaga perwakilan adalah pimpinan masing-masing lembaga
tersebut. Tetapi dalam pasal 5, pasal 73, psal 225 UU tentang MD3, pengelola
anggaran adalah sekretariat jenderal dan pengguna anggaran adalah pimpinan
sekretariat jenderal.
Dalam Rapat Konsinyering Panja RUU MD3
yang dilaksanakan di Wisma Kopo pada tanggal 18 Februari 2013 membahas seputar
isu-isu pokok dalam pembahasan revisi UU MD3. Adapun hasil rapat tersebut
diantaranya menyangkut persoalan tata cara pemilihan pimpinan DPR, mengingat
anggota DPR mempunyai hak yang sama untuk dapat dipilih dan memilih pimpinan,
maka ketentuan Pasal 82 di ubah sebagai bentuk konsistensi dari persamaan hak
anggota DPR. Penentuan pimpinan dalam UU MD3 yang mengatur bahwa pimpinan DPR
berasal dari partai politik dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu tidak
konsisten terhadap pengakuan hak yang sama bagi setiap anggota DPR.
Untuk klausul dalam penentuan atau pemilihan anggota
DPR diperlukan suatu mekanisme baru yang lebih demokratis dan sesuai dengan
kebutuhan anggota. Yaitu melalui pemilihan ulang atau voting secara langsung oleh seluruh anggota
DPR dan tidak ditentukan secara langsung berdasarkan partai pemenang pemilu.
Atau bisa menggunakan mekanisme pemilihan lain, misalnya : Pimpinan DPR terdiri
atas 1 orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota DPR yang diusulkan fraksi atau Ketua DPR adalah anggota DPR yang
memperoleh suara terbanyak pertama dalam pemilihan dan atau Wakil Ketua DPR
ialah anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, keempat dan
kelima.
Ihwal
ini menunjukan kekhawatiran masyarakat terhadap bentuk pemerintahan yang serba
bermasalah. Terutama kepada parlemen. Parlemen dapat mengadakan pemilihan
dengan sebebas- bebasnya tanpa intervensi dari yang masyarakat. Maka terbentuk
kolonial yang menguasai pemerintah.
Ditambah
dengan UU MD3 yang memberikan tiga keluesan terhadap parlemen mengenai peluang
untuk memiliki fungsi legislasi, maka akan menjadi ketakutan yang semakin
parah. Namun nampaknya sekarang kubu KMP sendiri menuai perpecahan dikarenakan
fraksi Golkar terlihat ingin menguasai isi parlementer. Masing-masing anggota
yang ikut dalam koalisi menghilang satu per satu untuk menghindari kejadian
yang tidak diinginkan, seperti tampuk kekuasaan yang dipegang orang-orang
Golkar seluruhnya.
Terkait dengan mekanismen penentuan
pimpinan DPR RI saat ini masih dalam tahap diskusi dan penggalian informasi
serta masukan dari berbagai pakar dan civitas akademik.
FRAKSI juga menjadi Isu pokok dalam
pembahasan RUU MD3, ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat kinerja DPR di
masa yang akan datang dan juga untuk memberikan penguatan pada keberadaan
fraksi denngan ketentuan mengenai penyediaan sarana, anggaran, dan tenaga ahli
bagi fraksi yang ditentukan minimal sejumlah alat kelengkapan. Adapun Usul
Perubahan dalam UU No. 27 Tahun 2009 Pasal 80 adalah DPR menyediakan sarana,
anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi, Fraksi
didukung oleh tenaga ahli paling sedikit sejumlah alat kelengkapan DPR. Kemudian
ketentuan lebih lanjut mengenai sarana, anggaran, dan tenaga ahli fraksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan DPR.
Namun disamping masukan tersebut di atas
juga terdapat masukan yang perlu untuk menjadi pertimbangkan bagi pembahasan
ini, yaitu : Terhadap pembentukan Fraksi di DPR perlu diperketat aturan dan
syaratnya untuk mengefektifkan fungsi legislasi dan Pengetatan persyaratan
pembentukan Fraksi dapat dilakukan dengan memperbanyak jumlah anggota DPR yang
dapat membentuk fraksi
Legislasi
perlu kawalan ketat dari berbagai pihak. Dengan bebasnya memilih fraksi DPR
cenderung menmbuat kebijakan yang sepihak.
Hal ini ditujukan agar dapat mendorong
adanya koalisi antar partai, fraksi tetap ada namun pegambilan keputusan dilakukan
dengan pemungutuan suara anggota DPR/DPD. Keberadaan fraksi penting untuk
mengingatkan anggota DPR soal pertanggungjawaban terhadap konstituen, Fraksi
penting menfollow-up paltform partai yang disepakati untuk diperjuangkan dan
dijanjikan pada kontituen di masa kampanye, serta hal-hal lain. Fraksi harus
dirampingkan supaya proses pengambilan keputusan-keputusan di DPR berjalan
efektif, dan proses negosiasi politik tidak rumit.
D.
Beberapa
Pasal
yang diduga Cacat di UU MD3
Sebuah revisi UU tentang
MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) yang sudah diketok palukan 8 Juli 2014, ternyata
cacat dan mengandung kepentingan praktis. Wajar saja tidak semua fraksi
mengamini kesepakatan UU MD3. Beberapa partai bahkan mengambil sikap walk
out, seperti PDIP, PKB dan Hanura.
Berikut ini pasal-pasal UU MD3 yang menjadi catatan sekaligus cacat
menurut versi Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Perubahan UU MD3:
1. Pasal 4 & 5, penambahan tugas MPR
Di dalam UU No 22 Tahun 2003 tentang
Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 11 diatur bahwa tugas
legislator adalah mengubah & menetapkan UUD 1945, melantik presiden &
wapres, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan
presiden dan/atau wapres, dan menetapkan peraturan tata tertib & kode etik.
Sedangkan
di dalam UU MD3 pasal 4 & 5 ditambah lagi Susduk MPR yaitu memasyarakatkan
ketetapan MPR, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, mengkaji
sistem ketatanegaraan, UUD 1945 serta pelaksanaannya, dan menyerap aspirasi
masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945.
Penambahan kewenangan akan berpotensi
terjadinya penganggaran ganda dan pembengkakan anggaran karena adanya
penambahan aktivitas yang tidak efektif. Seharusnya pejabat senayan bisa
memberdayakan lembaga-lembaga seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
atau Komisi Hukum Nasional (KHN) untuk melakukan pembinaan dan pengembangan
hukum nasional termasuk 4 pilar tersebut.
Ditambah dengan hadirnya KMP akan menginditifikasi
bahwa mereka ingin memakjulkan presiden Jokowi. Dengan kedaulatan yang dimiliki
dalam UU No 22
Tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 11.
2. Pasal 80 huruf (j), ambiguitas program pembangunan daerah
pemilihan (Dapil)
Dalam
pasal ini lebih mengarah terhadap kecurangan yang akan bemuara kepada pengangaran.
Menjadi duri dalam daging bagi sebuah tatanan negara, apalagi dilakukan oleh
pemerintah yang seharusnya pro rakyat
pasal ini, DPR berhak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan Dapil. Substansinya, DPR ingin ada dana
aspirasi untuk konstituen. Namun, penjelasan pelaksanaan program ini masih
tergolong bias. Dengan distorsi tujuan program, ke depan pasal ini berindikasi
akan membuka laku culas penggunaan anggaran. Kuat dugaan akan terjadi
penyimpangan anggaran di lapangan.
3. Pasal 84, mekanisme pemilihan pimpinan DPR
“Memang politis sekali”. Soalnya ketua dan 4 wakil DPR akan dipilih
oleh anggota berdasarkan suara terbanyak. Padahal pasal 82 UU No 27/2009
sebelumnya, pimpinan DPR dari partai pemenang pileg. Memang, ketua DPR adalah
posisi prestisius, sehingga jadi incaran para fraksi. Hanya saja dalam naskah
akademik, tidak ada penjelasan yang komprehensif tentang pengubahan sistem
pemilihan pimpinan DPR yang baru ini.
Akibat ketidakjelasan latar belakang pasal ini, banyak pengamat
menganggap bahwa pasal ini adalah upaya pihak oposisi pemerintah dan partai
pemilu yang kalah, agar tetap memiliki kekuatan. Sebenarnya, jika pemerintah,
yakin dengan kinerja dan dukungan rakyat, saya rasa, seorang presiden tidak
perlu mengkhawtirkan masalah siapa pimpinan DPR-nya, termasuk munculnya pasal
84 ini.
Senada
dengan hadirnya UU ini sebelum pemilu berlangsung, karena pihak kubu Prabowo
menyadari akan resiko kekalahan dalam ajang pemilu. Dengan sengaja membuat
amunisi sebagai perlawanan atas Jokowi bila jadi Presiden.
4. Pasal 224 ayat (4), ancaman terhadap Anggota DPR yang kritis
Pasal 224 UU MD3 ayat (4) berpotensi membatasi anggota DPR
yang frontal dan kritis terhadap keputusan sepihak, baik di rapat - rapat
banggar, komisi atau di paripurna. Misalnya saja, ada anggota DPR yang kritis
terhadap program dan penganggaran APBN, karena dianggap menghalangi dan tidak
seritme, maka akan ‘diasingkan’ dan hak imunitasnya bisa hilang.
Dalam kasus ini akan raawan terjadi realita recall yang terjadi dalam UU nomor 16
tahun 1969 tentang susduk MPR, DPR, dan DPRD menyebutkan deengan istilah hak
mengganti, yang kemudian diasosiasikan dengn recall.
5. Pasal 224 UU MD3 ayat (5), muncul Mahkamah Kehormatan
Badan Kehormatan DPR saja tidak berfungsi dengan
baik. Kini, dengan UU MD3, muncul lagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang
memiliki tugas hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan
pemeriksaan.
Jika Badan Kehormatan DPR hanya sebatas
pelanggaran kode etik, Mahkamah Kehormatan meluas hingga pelanggaran pidana.
Pada ayat (5), pemanggilan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana,
harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Tentunya, MKD berpotensi
menghalang-halangi proses hukum terhadap anggota dewan.
Imun
anggota dewan meningkat. Padahal akar permasalahan kecurangan khususnya soal
anggaran, pasti bermula dari gedung parlemen. Pembentukan MKD dinilai hanya
‘akal-akalan’ anggota dewan. Dengan adanya pasal 224 ayat (5), tidak
terbayangkan, anggota dewan kita akan semakin brutal melakukan ‘pencurian’ uang
negara.
6. Pasal 224 UU MD3 ayat (7), Mahkamah Kehormatan jadi penentu
Menyambung ayat (5), dalam ayat (7) ini, dikatakan bahwa MKD berhak
memutuskan untuk tidak mengizinkan pemeriksaan terhadap anggota dewan. Dengan
begitu, surat pemanggilan yang dilayangkan penegak hukum, akan batal demi
hukum.
Riskan seperti yang terjadi dengan KMP. Apbila
semua isi parlemen menjadi sebuah kelompok yang satu sepekat. Maka akan terjadi
tindakan saling melindungi dan menyelamatkan satu sama lain. Sehingga hukum di
Indonesia kembali terlihat lebih lemah dan dianggap tak berguna.
7. Pasal 245, menghambat penyidikan
Pasal ini juga jadi pro-kontra karena
legislator kita akan kebal hukum. Setelah terbentuknya MKD, para penegak hukum
tidak bisa sembarangan menyeret anggota DPR dari Senayan ke proses penyidikan. Untuk jadi saksi
saja, penegak hukum harus meminta izin ke Mahkamah Kehormatan. Mahkamah
kehormatan akan menjawab izin selama batas maksimal 30 hari. Namun, dengan
durasi 30 hari.
Ketakutan muncul apabila waktu 30 hari yang
digunakan sebagai batas izin itu digunakan sembarangan dan malah terkesan
digunakan sebagai hari transaksi kecurangan seperti suap dan lainaya
8. Penghapusan Pasal 110 dan 73 ayat (5) UU No 27 tahun 2009
UU MD3 menghapus pasal 110 tentang adanya Badan Akutanbilitas
Keuangan Negara (BAKN) dari alat kelengkapan DPR (AKD). BAKN bertugas menindak lanjut hasil
audit BPK dalam rangka pengawasan keuangan DPR.Tidak sampai di situ, pasal 37
ayat (5) UU no 27/2009 yang mewajibkan pelaporan anggaran DPR kepada masyarkat
melalui laporan kinerja tahunan, telah dihapus. Penghapusan pasal-pasal
tersebut akan menghilangkan transparansi penggunaan anggaran di DPR.
Mengerikan dan ini realitasnya. UUD MD3
sudah sah. Pengusulan RUU perubahan atas UU no 27 tahun 2009 tentang MD3 pada
24 Oktober 2013, telah disahkan pada 8 Juli 2014, melalui sidang paripurna.
Revisi UU ini sangat instan dan konyol. Padahal masih banyak pekerjaan rumah
pembuatan UU yang mendesak ketimbang mengurus revisi UU politis ini.
Lihat
saja target Prolegnas 2009-2014 yang merencanakan 39 rancangan Undang-undang
(RUU) tentang industri dan ekonomi, hanya ada 10 rancangan yang disahkan
menjadi UU, delapan rancangan masih dalam pembahasan dan 21 RUU tidak mendapatkan
ketok palu.
Menurut penilaian Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Perguruan Tinggi (Perkumpulan Prakarsa), kinerja anggota DPR
sepanjang 5 tahun, sangat mengecewakan. Anggota DPR tidak serius, meningkatkan
perekonomian dan industri bangsa melalui UU. Kini, UU MD3 segera di-judicial
review. Kita berharap, Mahkamah Konstitusi jelih memutuskan JR ini, agar
kepentingan masyarakat tidak jadi korban.
Lebih
lanjut, MK bisa mempertimbangkan stigma yang selama ini melekat pada anggota
DPR. Tentunya jika gugatan (JR) ditolak, UU MD3 ini akan men-cover
kepentingan praktis anggota DPR. Anggota dewan akan jadi manusia setengah dewa
yang kebal hukum dan melebarkan ruang untuk melakukan praktik culas. Oleh
karena itu, bola panas ada di MK saat ini. Penghapusan pasal yang akan di-JR
mesti matang. Kalau tidak, rakyat yang akan menggugat.
III.
KESIMPULAN
Proses yang begitu singkat sangat
mencurigakan
DAFTAR
PUSTAKA
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mengenai Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (daring), 14 Januari 2011, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/harmonisasi-rpp/68-kegiatan-litigasi-umum/1028-putusan-mahkamah-konstitusi-mengenai-pengujian-uu-nomor-27-tahun-2009-tentang-mpr-dpr-dpd-dan-dpr.html,
diakses pada 05 Desember 2014.
Badan-Legislasi,
Revisi UU MD3 Perlu Kajian Lebih Dalam, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (daring), 17-Jan-2012, http://www.dpr.go.id/id/berita/baleg/2012/jan/18/3520/revisi-uu-md3-perlu-kajian-lebih-dalam,
diakses pada 05
Desember 2014.
Paula Sinjal,
Isu-Isu Pokok Dalam Pembahasan RUU MD3, paulasinjal.com
(daring), 18 February 2013, http://www.paulasinjal.com/index.php?option=com_content&view=article&id=69:isu-isu-pokok-dalam-pembahasan-ruu-md3-&catid=62:baleg&Itemid=55,
diakses pada 05
Desember 2014.
Partai Pengusung
Prabowo-Hatta Jalin Koalisi Permanen di DPR, jpnn (daring), 09 Juli 2014, http://www.jpnn.com/read/2014/07/09/245044/Partai-Pengusung-Prabowo-Hatta-Jalin-Koalisi-Permanen-di-DPR-,
diakses pada 05
Desember 2014.
UU MD3 naskah copy 2014,, http://www.dpr.go.id/id/apa
tujuan Undang-undang MD3 administrasi
publik.html, diakses pada 05
Desember 2014.
Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 versi Mei
2014 2014: http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/Naskah%20Kapolri%20RDPU%20Pansus%20RUU%20MD3%2019Mei14.pdf
Naskah terbaru dari Revisi UU MD3 versi 10 Juli
2014 -- http://www.parlemen.net/articles/2014/07/11/naskah-rancangan-undang-undang-tentang-mpr-dpr-dpd-dan-dprd-berdasarkan
Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU
MD3 di Berita Satu 8 Juli dan Kompas 6 Juli: http://www.beritasatu.com/nasional/195457-diskriminatif-pembahasan-ruu-md3-dianggap-layak-dihentikan.html dan http://nasional.kompas.com/read/2014/07/06/15292091/Revisi.UU.MD3.Dinilai.Persulit.Anggota.DPR.Disentuh.Hukum
Rencana PDIP Mengajukan Revisi UU MD3 untuk
Judicial Review
[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pengujian UU
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (daring), 14 Januari 2011, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/harmonisasi-rpp/68-kegiatan-litigasi-umum/1028-putusan-mahkamah-konstitusi-mengenai-pengujian-uu-nomor-27-tahun-2009-tentang-mpr-dpr-dpd-dan-dpr.html,
diakses pada 05
Desember 2014.
[2] Badan-Legislasi, Revisi UU MD3 Perlu Kajian Lebih
Dalam, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (daring), 17-Jan-2012, http://www.dpr.go.id/id/berita/baleg/2012/jan/18/3520/revisi-uu-md3-perlu-kajian-lebih-dalam,
diakses pada 05
Desember 2014.
[3] Paula Sinjal, Isu-Isu Pokok Dalam Pembahasan RUU MD3, paulasinjal.com (daring), 18 February 2013, http://www.paulasinjal.com/index.php?option=com_content&view=article&id=69:isu-isu-pokok-dalam-pembahasan-ruu-md3-&catid=62:baleg&Itemid=55,
diakses pada 05
Desember 2014.
[4] Partai Pengusung Prabowo-Hatta Jalin Koalisi Permanen di
DPR, jpnn (daring), 09 Juli 2014, http://www.jpnn.com/read/2014/07/09/245044/Partai-Pengusung-Prabowo-Hatta-Jalin-Koalisi-Permanen-di-DPR-,
diakses pada 05
Desember 2014.
[5] UU MD3 naskah copy 2014,, http://www.dpr.go.id/id/apa tujuan Undang-undang MD3 administrasi publik.html, diakses pada 05 Desember 2014.
izin share ya pak ..thankyou
BalasHapus