Senin, 09 Maret 2015

MAKALAH LEMBAGA-LEMBAGA FASILITATOR KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA

LEMBAGA-LEMBAGA FASILITATOR KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
MAKALAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Lembaga Keuangan Syari’ah
Dosen Pengampu : Ibu Nur Huda
Disusun Oleh :
Ika Indri Astuti           ( 132411002 )
Nurus Sholihah            ( 132411006 )
Pipit Larasati               ( 132411009 )
Susi Nurajiati                (132411041 )
Faradila Zuri S.            ( 132411042 )
Nungki Safitri              ( 132411043 )

JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
       I.            PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, tidak terkecuali bidang ekonomi yang dalam perkembangannya saat ini dan mendatang dirasakan semakin kompleks.[1]
Pegembangan lembaga-lembaga keuangan terutama lembaga keuangan syari’ah juga mengalami kemajuan-kemajuan yang pesat, dan pada saatnya untuk melakukan pemantauan, pengawasan dan arahan yang memungkinkan pengembangan lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syari’ah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan Syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganan dari masing-masing Dewan Pengawas Syari’ah.
Dalam makalah ini akan kami bahas tentang lembaga- lembaga fasilitator keuangan syariah di Indonesia meliputi Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), Basyarnas(Badan Arbitrase Syari’ah Nasional), dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
    II.            Rumusan Masalah
1.      Apa saja lembaga-lembaga fasilitator keuangan syariah di Indonesia?


 III.            PEMBAHASAN

Sistem keuangan di Indonesia dilaksanakan dengan dual system, yaitu konvensional dan syariah. Dari sisi pemenuhan prinsip syariah, otoritas ada tangan Dewan Syariah Nasional MUI sedangkan secara kelembagaan pada lembaga keuangan yang beroperasi sesuai syariah, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan melakukan pengawasan dari sisi operasional. Di samping itu, untuk menengahi persengketaan yang terjadi pada lembaga keuangan syariah ada Badan Arbitrase Syariah Nasional. Lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini:[2]

1.      Bank Indonesia
Bank sentral di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang memiliki tujuan utama mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur, menjaga kelancaran sistem devisa serta mengatur dan mengawasi bank.
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tiga tugas, yaitu:[3]
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang:
a.    Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya.
b.    Melakukan pengendalian moneter.
c.    Memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang:
a.    Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
b.    Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya
c.    Menetapkan penggunaan alat pembayaran
Ketiga, mengatur dan mengawasi Bank. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang:
a.    Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
b.    Memberikan dan mencabut izin usaha bank.
c.    Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
Bank sentral berfungsi sebagai pengawas sistem moneter; pencipta uang primer terutama uang kertas dan uang logam (uang kartal), dan pemelihara cadangan emas dan devisa.
Perubahan sistem perbankan Indonesia makin menguat pasca diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 semakin mempertegas status, tujuan, dan tugas yang lebih tepat kepada BI selaku otoritas moneter. Bank Indonesia juga mengatur dual banking system  di Indonesia, yaitu bank konvensional dan bank syariah yang mulai bergulir terutama sejak dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang disusul dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Selanjutnya, Bank Indonesia semakin menunjukkan komitmennya dalam pengembangan perbankan syariah melalui pembentukan Biro Perbankan Syariah pada tahun 2001 yang kemudian ditingkatkan menjadi Direktorat Perbankan Syariah pada tahun 2004.
Pada tahun 2008, sebagai amanah dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dibentuk suatu komite dalam internal Bank Indonesia untuk menindaklanjuti implementasi fatwa MUI, yaitu Pembentukan Komite Perbankan Syariah (PBI No. 10/32/PBI/2008 tanggal 20 November 2008). Tugas Komite Perbankan Syariah adalah membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah, memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa MUI ke dalam PBI, dan melaksanakan pengembangan industry perbankan syariah.

2.      Depatemen Keuangan
Upaya pengembangan pasar keuangan syariah tentu juga tidak bisa terlepas dari peranan Departemen Keuangan. Pada pasar modal dan lembaga keuangan nonbank syariah, lembaga yang membinanya adalah Bapepam-LK. Bapepam-LK merupakan penggabungan dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam ) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Depatemen Keuangan. Bapepam-LK berada di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang bertugas membina, mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standadisasi teknis di bidang lembaga keuangan.Dalam perjalanannya, Bapepam-LK telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait peraturan aplikasi prinsip-prinsip syariah di ruang lingkup pasar modal syariah.
Departemen keuangan (Depkeu) juga sudah membentuk Direktorat Pembiayaan Syariah (DPS). Hal ini sebagai langkah persiapan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk. Direktorat tersebut dibentuk akhir tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Direktorat Kebijakan Pembiayaan syariah mempunyai tugas melaksankan perencanaan dan kebijakan portofolio serta melakukan pengembangan instrumen pembiayaan Syariah; melakukan analisis keuangan dan pasar keuangan Syariah; melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait dan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri dalam rangka pengembangan infrastruktur dan kebijakan pembiayaan syariah; melakukan pengkajian peraturan dan prosedur standar; dalam rangka kebijakan pembiayaan syariah berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal.
3.    Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
a.    Dewan Syariah Nasional
DSN MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1999 yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha’, serta ahli dan praktisi ekonomi). DSN MUI mempunyai fungsi melaksankan tugas-tugas MUI dalam memajukan ekonomi umat, menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga kuangan syariah
DSN adalah singkatan dari Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. DSN ini merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia.
DSN ini membantu pihak terkait, seperti Depatemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan/ketentuan untuk lembaga keuanga syariah.[4] Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syariah.[5]

Lebih jelasnya Dewan Syariah Nasional bertugas:[6]
1.    Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2.    Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3.    Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4.    Mengawasi penerapan fatwa  yang telah dikeluarkan.
Dewan Syariah Nasional berwenang:[7]
1.    Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tidakan hukum pihak terkait.
2.    Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Depatemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3.    Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.
4.    Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5.    Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
6.    Mengusulkan kepada istansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah, yang aggotanya ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti empat tahun.
Struktur organisasi DSN terdiri dari Pengurus Pleno (56 anggota) dan Badan Pelaksana Harian (17 orang anggota). Ketua DSN-MUI dijabat Ex Officio Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN-MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI. Adapun keanggotaan DSN diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan para praktisi perekonomian syariah yang memenuhi criteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN yang mana keanggotaan baru DSN ditetapkan oleh Rapat Pleno DSN-MUI. Tercatat sampai dengan Juli 2008 DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa.[8]

Mekanisme kerja Dewan Syariah Nasional:[9]
1.    Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN.
2.    Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.
3.    Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.

Pembiayaan Dewan Syariah Nasional:[10]
1.    Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan Pemerintah (Depkeu), Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat.
2.    Dewan Syariah Nasional menerima dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada.
3.    Dewan Syariah Nasional mempertanggungjawabkan keuangan/sumbangan tersebut kepada Majelis Ulama Indonesia.

b.         Dewan Pengawas Syariah
Sebagai wakil DSN pada lembaga keuangan syariah yang bersangkutan dibentuklah Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS ini secara garis besarnya melakukan; pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya, berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional, melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran, merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.

Tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah:[11]
1.    Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
2.    Fungsi utama DPS adalah:
a.    sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
b.    sebagai mediator antara LKS dengan DSN dalam mengomunikasikan usul dan saran pengembagan produk dan jasa dari LPKS yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.

DPS ini secara organisasi bertanggung jawab kepada DSN MUI pusat, kredibilitasnya kepada masyarakat, dan secara moral bertanggung jawab kepada Allah SWT.
5.         Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga yang menengahi perselisihan antara LKS dan nasabahnya sesuai dengan tata cara hukum syariah. Umumnya nasabah memilih datang ke BASYARNAS sebelum ke pengadilan negeri karena cara ini dinilai efisien dan dalam hal biaya dan waktu.
BASYARNAS berkendudukan di Jakarta dengan cabang-cabang atau perwakilan di tempat-tempat lain yang dianggap perlu. BASYARNAS didirikan bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum yayasan. Akta pendiriannya ditandatangani oleh Ketua Umum MUI Bapak K.H. Hasan Basri dan sekretaris umum Bapak HS Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan keputusan rapat kerja nasional (rakernas) MUI tahun 1992. Perubahan nama, perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh MUI: ialah lembaga hukum yang bebas, otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan oleh pihak-pihak manapun. BASYARNAS adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN, LP-POM (lembaga pengkajian,pengawasan obat dan makanan), YDDP (Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS adalah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. SKMUI (Majelis Ulama Indonesia). Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang BASYARNAS adalah yang memutuskan BASYARNAS adalah lembaga hukum (arbitrase syariah) satu-satuya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa,dan lain-lain. Bahkan, di semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama    Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan:”Jika slaah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”

6.      OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang.[12] Pimpina tertinggi OJK disebut Dewan Komisioner. Anggota Dewan Komesioner (kepala eksekutif)  bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan komesioner.
Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali. 

 OJK berfungsi sebagai sistem pngaturan dan pengawasan yang terintegritas keseluruhan di dalam sektorjasa. keuangan[13]Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi.
Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank.

a.    Tujuan dalam pembentukan OJK
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sector jasa keuangan:[14]
1.      Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel
2.      Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
3.      Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
b.    OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap[15]:
  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
c.       Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang:[16]
a.       Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1)      Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2)      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.      Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;
c.    Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
1)   Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
2)   Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
3)   Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
4)   Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
5)   Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
6)   Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
7)   Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
1)   Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
2)   Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
3)   Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
4)   Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
5)   Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6)   Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7)   Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
8)   Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.


 IV.            KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Sistem keuangan di Indonesia dilaksanakan dengan dual system, yaitu konvensional dan syariah. Dari sisi pemenuhan prinsip syariah, otoritas ada tangan Dewan Syariah Nasional MUI sedangkan secara kelembagaan pada lembaga keuangan yang beroperasi sesuai syariah, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan melakukan pengawasan dari sisi operasional.
2.      Lembaga keuangan yang beroperasi sesuai syariah meliputi; Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), Basyarnas(Badan Arbitrase Syari’ah Nasional), dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
    V.            PENUTUP
Demikian makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah lembaga keuangan syariah tentang lembaga-lembaga fasilitator keuangan syariah di Indonesia. Karya ini merupakan hasil maksimal dari kami, dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari harapan dan sempurna. Karena itu, saran dan masukan,dari pembaca sangat kami harapkan dalam penyempuranaan makalah ini.


Semarang 20 Oktober 2014








DAFTAR PUSTAKA
Kasmir. 2005.  Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: PT Gramedia.
Soemitra, Andri. 2010.  Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan




[1] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta: PT Gramedia. 2010), hlm. 50
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 40-45
[3] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 170-172
[4] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.51
[5] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 42
[6] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.51
[7] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.52
[8] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 43
[9] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.52

[10] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.53
[11] Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.5-54

[12] Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan BAB I pasal 1
[13] Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan BAB III pasal 5

[14] -undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bab III pasa 4
[15] Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bab III pasal 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar