LEMBAGA-LEMBAGA FASILITATOR KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
MAKALAH
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Lembaga Keuangan Syari’ah
Disusun Oleh :
Ika Indri Astuti ( 132411002 )
Nurus Sholihah ( 132411006 )
Pipit Larasati ( 132411009 )
Susi Nurajiati (132411041 )
Faradila Zuri S. ( 132411042 )
Nungki Safitri ( 132411043 )
Ika Indri Astuti ( 132411002 )
Nurus Sholihah ( 132411006 )
Pipit Larasati ( 132411009 )
Susi Nurajiati (132411041 )
Faradila Zuri S. ( 132411042 )
Nungki Safitri ( 132411043 )
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang membawa
rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Ajarannya mencakup semua
aspek kehidupan, tidak terkecuali bidang ekonomi yang dalam perkembangannya
saat ini dan mendatang dirasakan semakin kompleks.[1]
Pegembangan lembaga-lembaga keuangan
terutama lembaga keuangan syari’ah juga mengalami kemajuan-kemajuan yang pesat,
dan pada saatnya untuk melakukan pemantauan, pengawasan dan arahan yang
memungkinkan pengembangan lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Dengan semakin berkembangnya
lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan
Pengawas Syari’ah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan
Syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan
fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganan dari masing-masing Dewan
Pengawas Syari’ah.
Dalam makalah ini akan kami bahas
tentang lembaga- lembaga fasilitator keuangan syariah di Indonesia meliputi
Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS), Basyarnas(Badan Arbitrase Syari’ah Nasional), dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
II.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja lembaga-lembaga fasilitator keuangan syariah di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
Sistem keuangan di Indonesia
dilaksanakan dengan dual system, yaitu konvensional dan syariah. Dari
sisi pemenuhan prinsip syariah, otoritas ada tangan Dewan Syariah Nasional MUI
sedangkan secara kelembagaan pada lembaga keuangan yang beroperasi sesuai
syariah, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan melakukan pengawasan dari sisi
operasional. Di samping itu, untuk menengahi persengketaan yang terjadi pada
lembaga keuangan syariah ada Badan Arbitrase Syariah Nasional. Lebih jelasnya
akan diuraikan di bawah ini:[2]
1.
Bank
Indonesia
Bank sentral di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang
memiliki tujuan utama mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur, menjaga kelancaran sistem devisa
serta mengatur dan mengawasi bank.
Dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia memiliki tiga tugas, yaitu:[3]
Pertama,
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam hal ini, Bank Indonesia
berwenang:
a.
Menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkannya.
b.
Melakukan
pengendalian moneter.
c.
Memberikan
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
Kedua,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam hal ini, Bank
Indonesia berwenang:
a.
Melaksanakan
dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
b.
Mewajibkan
penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya
c.
Menetapkan
penggunaan alat pembayaran
Ketiga, mengatur dan mengawasi Bank. Dalam hal ini, Bank Indonesia
berwenang:
a.
Menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
b.
Memberikan
dan mencabut izin usaha bank.
c.
Memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
Bank sentral berfungsi sebagai pengawas sistem moneter; pencipta
uang primer terutama uang kertas dan uang logam (uang kartal), dan pemelihara
cadangan emas dan devisa.
Perubahan sistem perbankan Indonesia makin menguat pasca
diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2
tahun 2008 semakin mempertegas status, tujuan, dan tugas yang lebih tepat
kepada BI selaku otoritas moneter. Bank Indonesia juga mengatur dual banking
system di Indonesia, yaitu bank
konvensional dan bank syariah yang mulai bergulir terutama sejak dikeluarkannya
UU No. 7 Tahun 1992 yang disusul dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Selanjutnya, Bank Indonesia semakin menunjukkan komitmennya dalam pengembangan
perbankan syariah melalui pembentukan Biro Perbankan Syariah pada tahun 2001
yang kemudian ditingkatkan menjadi Direktorat Perbankan Syariah pada tahun
2004.
Pada tahun 2008, sebagai amanah dari Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, dibentuk suatu komite dalam internal Bank
Indonesia untuk menindaklanjuti implementasi fatwa MUI, yaitu Pembentukan
Komite Perbankan Syariah (PBI No. 10/32/PBI/2008 tanggal 20 November 2008).
Tugas Komite Perbankan Syariah adalah membantu Bank Indonesia dalam menafsirkan
fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah, memberikan masukan dalam
rangka implementasi fatwa MUI ke dalam PBI, dan melaksanakan pengembangan
industry perbankan syariah.
2.
Depatemen
Keuangan
Upaya pengembangan pasar keuangan syariah tentu juga tidak bisa
terlepas dari peranan Departemen Keuangan. Pada pasar modal dan lembaga keuangan
nonbank syariah, lembaga yang membinanya adalah Bapepam-LK. Bapepam-LK
merupakan penggabungan dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam ) dan
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Depatemen Keuangan. Bapepam-LK berada di
bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang bertugas membina, mengatur,
dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan
melaksanakan kebijakan dan standadisasi teknis di bidang lembaga keuangan.Dalam
perjalanannya, Bapepam-LK telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait
peraturan aplikasi prinsip-prinsip syariah di ruang lingkup pasar modal
syariah.
Departemen keuangan (Depkeu) juga sudah membentuk Direktorat
Pembiayaan Syariah (DPS). Hal ini sebagai langkah persiapan penerbitan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk. Direktorat tersebut dibentuk
akhir tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Direktorat
Kebijakan Pembiayaan syariah mempunyai tugas melaksankan perencanaan dan
kebijakan portofolio serta melakukan pengembangan instrumen pembiayaan Syariah;
melakukan analisis keuangan dan pasar keuangan Syariah; melakukan koordinasi
dengan instansi-instansi terkait dan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri
dalam rangka pengembangan infrastruktur dan kebijakan pembiayaan syariah;
melakukan pengkajian peraturan dan prosedur standar; dalam rangka kebijakan
pembiayaan syariah berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur
Jenderal.
3.
Dewan
Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah
a.
Dewan
Syariah Nasional
DSN MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tahun 1999 yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha’, serta
ahli dan praktisi ekonomi). DSN MUI mempunyai fungsi melaksankan tugas-tugas
MUI dalam memajukan ekonomi umat, menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
aktivitas lembaga kuangan syariah
DSN adalah singkatan dari Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah
Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. DSN ini merupakan bagian
dari Majelis Ulama Indonesia.
DSN ini membantu pihak terkait, seperti Depatemen Keuangan, Bank
Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan/ketentuan untuk lembaga
keuanga syariah.[4]
Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan
prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan
pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syariah.[5]
Lebih jelasnya Dewan Syariah Nasional bertugas:[6]
1.
Menumbuhkembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnya.
2.
Mengeluarkan
fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3.
Mengeluarkan
fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4.
Mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Dewan Syariah Nasional berwenang:[7]
1.
Mengeluarkan
fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan
syariah dan menjadi dasar tidakan hukum pihak terkait.
2.
Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang, seperti Depatemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3.
Memberikan
rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.
4.
Mengundang
para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan
ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar
negeri.
5.
Memberikan
peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
6.
Mengusulkan
kepada istansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak
diindahkan.
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar dalam
bidang yang terkait dengan muamalah syariah, yang aggotanya ditunjuk dan
diangkat oleh MUI untuk masa bakti empat tahun.
Struktur organisasi DSN terdiri dari Pengurus Pleno (56 anggota)
dan Badan Pelaksana Harian (17 orang anggota). Ketua DSN-MUI dijabat Ex Officio
Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN-MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI.
Adapun keanggotaan DSN diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas
Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan para praktisi perekonomian syariah
yang memenuhi criteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN yang mana
keanggotaan baru DSN ditetapkan oleh Rapat Pleno DSN-MUI. Tercatat sampai
dengan Juli 2008 DSN MUI telah mengeluarkan 61 fatwa.[8]
Mekanisme kerja
Dewan Syariah Nasional:[9]
1.
Dewan
Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana
Harian DSN.
2.
Dewan
Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan,
atau bilamana diperlukan.
3.
Setiap
tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual
report) bahwa lembaga syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi
segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional.
Pembiayaan Dewan Syariah Nasional:[10]
1.
Dewan
Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan Pemerintah (Depkeu),
Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat.
2.
Dewan
Syariah Nasional menerima dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan
syariah yang ada.
3.
Dewan
Syariah Nasional mempertanggungjawabkan keuangan/sumbangan tersebut kepada
Majelis Ulama Indonesia.
b.
Dewan
Pengawas Syariah
Sebagai wakil DSN pada lembaga keuangan syariah yang bersangkutan dibentuklah
Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS ini secara garis besarnya melakukan;
pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya, berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan
syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah
Nasional, melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan
syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua
kali dalam satu tahun anggaran, merumuskan permasalahan-permasalahan yang
memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah:[11]
1.
Tugas
utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
2.
Fungsi
utama DPS adalah:
a.
sebagai
penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syariah.
b.
sebagai
mediator antara LKS dengan DSN dalam mengomunikasikan usul dan saran
pengembagan produk dan jasa dari LPKS yang memerlukan kajian dan fatwa dari
DSN.
DPS ini secara organisasi bertanggung jawab kepada DSN MUI pusat, kredibilitasnya kepada masyarakat, dan secara moral bertanggung jawab kepada Allah SWT.
5.
Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga yang
menengahi perselisihan antara LKS dan nasabahnya sesuai dengan tata cara hukum
syariah. Umumnya nasabah memilih datang ke BASYARNAS sebelum ke pengadilan
negeri karena cara ini dinilai efisien dan dalam hal biaya dan waktu.
BASYARNAS berkendudukan di Jakarta dengan cabang-cabang atau
perwakilan di tempat-tempat lain yang dianggap perlu. BASYARNAS didirikan
bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia
(BAMUI). BAMUI didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993, berbadan hukum yayasan.
Akta pendiriannya ditandatangani oleh Ketua Umum MUI Bapak K.H. Hasan Basri dan
sekretaris umum Bapak HS Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berdasarkan keputusan rapat kerja nasional (rakernas) MUI tahun
1992. Perubahan nama, perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK
MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan Pedoman
Dasar yang ditetapkan oleh MUI: ialah lembaga hukum yang bebas, otonom dan
independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan oleh pihak-pihak manapun. BASYARNAS
adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN, LP-POM (lembaga
pengkajian,pengawasan obat dan makanan), YDDP (Yayasan Dana Dakwah
Pembangunan).
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS adalah
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. SKMUI (Majelis Ulama Indonesia). Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI
No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang BASYARNAS adalah yang
memutuskan BASYARNAS adalah lembaga hukum (arbitrase syariah) satu-satuya di
Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul
dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa,dan lain-lain. Bahkan, di
semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah
(perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan:”Jika slaah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”
6. OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang
dimaksud dalam undang-undang.[12]
Pimpina tertinggi OJK disebut Dewan Komisioner. Anggota Dewan Komesioner
(kepala eksekutif) bertugas memimpin
pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Dewan komesioner.
Adapun tujuan utama
pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan
publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan
perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan
pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi
kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis
keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang
kembali.
OJK berfungsi sebagai sistem pngaturan dan pengawasan yang terintegritas keseluruhan di dalam sektorjasa. keuangan[13]Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi.
OJK berfungsi sebagai sistem pngaturan dan pengawasan yang terintegritas keseluruhan di dalam sektorjasa. keuangan[13]Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi.
Secara historis, ide pembentukan OJK
sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan
undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden
Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan
independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi
tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide
pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut
Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu
penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak
sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi
bank.
a. Tujuan dalam pembentukan OJK
OJK dibentuk
dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sector jasa keuangan:[14]
1.
Terselenggara secara teratur, adil, transparan,
dan akuntabel
2.
Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil, dan
3.
Mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat
b. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap[15]:
- Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan;
- Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal; dan
- Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
c.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang:[16]
a.
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan
bank yang meliputi:
1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b.
Pengaturan dan pengawasan
mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,
rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang
terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian
kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;
c.
Pengaturan dan pengawasan
mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata
kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
1) Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
2) Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
3) Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
4) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
5) Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
Lembaga Jasa Keuangan;
6) Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
7) Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Untuk
melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai
wewenang:
1) Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
2) Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
3) Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan
tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang
kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan;
4) Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
5) Melakukan penunjukan pengelola statuter;
6) Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
7) Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
8)
Memberikan dan/atau
mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan
pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha,
pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Sistem
keuangan di Indonesia dilaksanakan dengan dual system, yaitu
konvensional dan syariah. Dari sisi pemenuhan prinsip syariah, otoritas ada
tangan Dewan Syariah Nasional MUI sedangkan secara kelembagaan pada lembaga
keuangan yang beroperasi sesuai syariah, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan
melakukan pengawasan dari sisi operasional.
2.
Lembaga
keuangan yang beroperasi sesuai syariah meliputi; Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), Basyarnas(Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional),
dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah
lembaga keuangan syariah tentang lembaga-lembaga
fasilitator keuangan syariah di Indonesia. Karya ini
merupakan hasil maksimal dari kami, dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari harapan dan sempurna. Karena itu, saran dan masukan,dari pembaca sangat
kami harapkan dalam penyempuranaan makalah ini.
Semarang 20 Oktober 2014
DAFTAR
PUSTAKA
Kasmir. 2005. Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Pedoman Umum Lembaga Keuangan
Syari’ah. Jakarta: PT Gramedia.
Soemitra, Andri. 2010. Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.
Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan
[1]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syari’ah (Jakarta:
PT Gramedia. 2010), hlm. 50
[2]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 40-45
[3]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), hlm. 170-172
[4]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm.51
[5]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 42
[6]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.51
[7]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.52
[8]
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 43
[9]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.52
[10]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.53
[11]
Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah, hlm.5-54
[12]
Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan BAB I pasal 1
[13]
Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan BAB III pasal 5
[14]
-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
bab III pasa 4
[15]
Undang-undang Republik Indonsia nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan bab III pasal 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar