Asuransi Serta Payung
Hukumnya
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hukum Perikatan
Dosen pengampu: Bp. Ja’far Baehaqi
disusun Oleh:
Ahmad Arif
Hidayat 122211018
Laeli Fajriyah 122211041
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di
zaman sekarang asuransi memegang peranan penting dalam memberikan kepastian
proteksi bagi manusia yang bersifat komersial maupun bukan komersial. Asuransi
dapat memberikan proteksi terhadap kesehatan, pendidikan, hari tua, harta benda
maupun kematian. Salah satu kebutuhan hidup yang tak kalah penting di era
globalisasi ini adalah kebutuhan akan jasa asuransi.
Seorang
manusia di dalam suatu masyarakat sering menderita suatu kerugian karena akibat
dari suatu peristiwa yang tidak terduga semula, misalnya mendapat kecelakaan dalam
perjalanan di darat, di laut, atau di udara. Kalau kerugian ini hanya kecil
sehingga dapat ditutup dengan uang simpanan, maka kerugian itu tidak begitu
terasa. Lain halnya apabila uang simpanan tidak mencukupi untuk kerugian itu,
maka orang akan betul-betul menderita. Untuk itulah, jaminan-jaminan
perlindungan terhadap keadaan-keadaan tersebut di atas sangat diperlukan oleh
setiap masyarakat yang ingin mengantisipasi apabila keadaan di luar dugaan
yaitu resiko yang terjadi.
Resiko
tidak lain adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa di
luar kesalahannya, misalkan : rumah seseorang terbakar sehingga pemiliknya
mengalami kerugian. Inilah resiko yang harus ditanggung pemiliknya. Karena
besarnya resiko ini dapat di ukur dengan nilai barang yang mengalami peristiwa
di luar kesalahan pemiliknya, resiko ini dapat di alihkan pada perusahaan
asuransi kerugian dalam bentuk pembayaran klaim asuransi. Pengalihan resiko ini
diimbangi dalam bentuk pembayaran premi[1]
pada perusahaan asuransi kerugian (penanggung) setiap bulan atau tahun,
bergantung pada perjanjian yang tertuang dalam polis[2].
Manfaat peraliahan resiko inilah yang diperoleh konsumen (tertanggung).[3]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian perjanjian asuransi?
2.
Bagaimana
pengaturan perjanjian asuransi?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perjanjian Asuransi
Istilah asuransi dalam bahasa
Belanda adalah Verzekering dan dalam bahasa Inggris adalah Insurance yang berarti
jaminan atau pertanggungan. Penulis-penulis Indonesia yang menggunakan istilah pertanggungan
yaitu Soekardono dan Subekti, selanjutnya Wirjono Prodjodikoro untuk
pertanggungan dipakai istilah asuransi.
Dalam hukum asuransi orang
mempertanggungkan disebut Tertanggung sedangkan orang yang menanggung disebut
Penanggung, sedangkanWirjono Prodjodikoro menggunakan istilah Terjamin untuk
tertanggung dan Penjamin untuk penanggung.
Pengertian asuransi sebagaimana
diuraikan dalam Ensiklopedia Umum adalah:
Asuransi adalah pertanggungan, persetujuan dalam mana
penanggung menjanjikan kepada yang mempertanggungkan akan mengganti kerugian,
yang disebabkan oleh suatu peristiwa (yang disebut dalam perjanjiannya) masa
depan yang lebih dahulu tidak dapat dipastikan. Untuk jaminan ini orang yang mempertanggungkan harus membayar sejumlah uang yang disebut premi
kepada penanggung.[4]
Pasal 246 KUHD merumuskan asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati
suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari
kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan,
yang akan dapat diderita oleh karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Menurut Pasal 1 Sub 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992, Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Sedangkan dalam KUHPerdata Buku III
Bab XV Pasal 1774 ditegaskan bahwa asuransi termasuk dalam golongan persetujuan
untung-untungan, yaitu suatu persetujuan yang hasilnya mengenai untung rugi
bagi semua pihak maupun bagi sementara, bergantung pada suatu kejadian yang
belum tentu. Bentuk lainnya adalah bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.
Di bawah ini selanjutnya dikemukakan
beberapa pengertian asuransi dari berbagai pandangan para sarjana ataupun
menurut apa yang terdapat di dalam undang-undang :
1.
Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan
bahwa Asuransi (verzekering) yang berarti pertanggungan. Dalam asuransi
terlibat dua pihak, yang satu sanggupakan menanggung atau menjamin, bahwa pihak
lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan diderita
selaku akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadinya
atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.[5]
2.
D. Sutanto, mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan asuransiadalah peniadaan resiko kerugian yang datangnya tak
terduga sebelumnya yang menimpa seseorang dengan cara menggabungkan sejumlah
besar orang atau manusia yangmenghadapi resiko yang sama dan merekaitu membayar
premi yang besarnya cukup untuk menutup kerugian yang mungkin menimpa orang diantara
mereka.[6]
3.
A. Abbas Salim
memberikan definisiasuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi)
kerugian-kerugian yang besar dan yang belum pasti.[7]
4.
Santoso Poejosubroto, memberikan definisi
asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak
penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan
pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang di tunjuk,
karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian
baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang
disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang
penanggung.[8]
5.
Abdul Kadir Muhammad, memberikan
suatu definisi pertanggungan (asuransi) adalah merupakan suatu perjanjian
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung
dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan yangmungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.[9]
6.
W. J. S. Poerwodarminta merumuskan
bahwa asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak), pihak yang
satu akan membayar uang kepada pihak lain bila terjadi kecelakaan dan
sebagainya. Sedang pihak yang lain akan membayar iuran.
Dalam asuransi terkandung adanya
suatu resiko yang terjadinya belum dapat dipastikan. Di samping itu adanya
pelimpahan atau pengalihan tanggung jawab memikul beban resiko dari pihak yang
mempunyai beban tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung
jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab
ini, ia diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan
atau ambil alih tanggung jawab yang disebut premi.
Dengan demikian pada hakekatnya
asuransi merupakan suatu perjanjian yang menimbulkan ikatan timbal balik,yang
didalamnya mencakup unsur-unsur yaitu :
1.
Asuransi itu pada asasnya adalah
suatu perjanjian kerugian (schade verzekering) atau indemniteits contract.
2.
Adanya pihak-pihak yaitu pihak
penanggung dan pihak tertanggung.
3.
Asuransi itu merupakan perjanjian
bersyarat.
4.
Adanya premi yang dibayar oleh
tertanggung.
Dari
unsur-unsur tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa asuransi itu merupakan
suatu persetujuan timbal balik yang berarti masing-masing pihak berjanji akan
melakukan sesuatu bagi pihak lain, dimana dalam hal ini masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak penjamin akan membayar sejumlah
uang kepada terjamin, apabila suatu peristiwa akan terjadi dimana masing-masing
pihak tidak mengetahuinya kapan peristiwa tersebut terjadi. Di sini harus
terdapat hubungan sabab akibat diantara peristiwa dan kerugian.
B.
Sumber Pengaturan Perjanjian Asuransi
Sekarang
ini, peraturan asuransi yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian danperaturan organiknya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pengaturan
hukum asuransi di Indonesia, dewasa ini antara lain dijumpai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang(KUHD) mulai Pasal 246 s/d Pasal 286. Adapun
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan
usaha perasuransian dalam hubungannya dengan perlindungan bagi pemegang polis
adalah sebagai berikut:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata)
Berdasarkan
Pasal 1 KUHD, ketentuan umum perjanjian
dalam KUHPerdata dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi dengan kepentingan
pemegang polis yang diperhatikan. Ketentuan dimaksud antara lain :
a.
Pasal 1266 KUHPerdata
“Syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat,
leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka
waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
Jadi, alasan
dikesampingkannya pasal tersebut di atas adalah agar dalam hal terjadinya
wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka:
Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke
pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri
(Pasal 1266).
Sedangkan,
mengenai akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja
dalam bukunya “Perikatan pada Umumnya” (hal. 138) mengatakan:
“Pada perikatan atau
perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan
atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan
perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk ini lihat ketentuan
Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPER). Yang dapat ditiadakan dengan pembatalan
tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi di masa yang akan datang di
antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim,
pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya
semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan
pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh
undang-undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.“
Jadi,
akibat hukum dari dikesampingkannya pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak
mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan
perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait
dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari perjanjian tersebut
tetap harus ditanggung oleh para pihak.
Contoh : A dan B
melakukan perjanjian, pada suatu hari B dalam keadaan wanprestasi atas
perjanjian yang telah dilakukan. Karena B tidak bisa memenuhi perjanjian yang
telah dilakukan, maka A ingin membatalkan perjanjian. A tidak perlu mengajukan
permohonan batal ke pengadilan melainkan bisa hanya berdasarkan kesepakatan
para pihak itu sendiri.
b.
Pasal 1253 s/d 1262 KUHPerdata
Bahwa ahli
waris dari pemegang polis/tertanggung dalam perjanjian asuransi juga mempunyai
hak untuk dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut. Contoh : A telah mengikuti sebuah asuransi jiwa. Pada suatu
hari A meninggal, ahli waris[10]
dari A mempunyai hak untuk dilaksanakannya prestasi dari perjanjian antara A
dan pihak asuransi.
c.
Pasal 1318 KUHPerdata
Disebutkan
dalam pasal tersebut bahwa jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka
dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat
disimpulkan dari sifat perjanjian bahwa tidak demikian maksudnya.
d.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
Mengatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya perkataan ”semua” dalam pasal
tersebut berarti juga berlaku bagi perjanjian asuransi. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
melahirkan beberapa asas antara lain asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan
mengikat dan asas kepercayaan.
e.
Pasal 1338 ayat
(2) KUHPerdata
Berbunyi
bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak atau karenaalasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.dengan demikian apabila misalnya pemegang polis
terlambat membayar premi maka penanggung tidak secara sepihak menyatakan
perjanjian asuransi batal.
f.
Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3)
Menegaskan
bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik
merupakan suatu dasar pokok dan kepercayaan yang menjadi landasan setiap
perjanjian termasuk perjanjian asuransi dan pada dasarnya hukum tidak
melindungi pihak yang beritikad buruk.
g.
Pasal 1339 KUHPerdata
Suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
h.
Pasal 1324 KUHPerdata
Mengenai
menafsirkan perjanjian harus diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan
perjanjian asuransi.
Pasal 1365
KUHPerdata
tentang
perbuatan melanggar hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis apabila
dapat membuktikan penanggung telah melakuakn perbuatan yang merugikannya.
2.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Sebagai
sumber pengaturan yang utama dari perjanjian Asuransi terdapat dalam KUHD. Pengaturan Asuransi dalam
KUHD adalah sebagai berikut:
a. Buku I bab X
diatur tentang beberapa jenis Asuransi yaitu Asuransi terhadap bahaya
kebakaran, Asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian
yang belum dipanen dan tentang Asuransi Jiwa.
b. Buku II Bab
IX mengatur tentang Asuransi terhadap bahaya laut dan bahaya
pembudakan.
c. Bab X
tentang Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan
di perairan darat.[11]
Dalam
peraturan Asuransi ada ketentuan yang bersifat memaksa dan peraturan yang
bersifat menambah. Contoh ketentuan yang bersifat memaksa adalah seperti yang
diatur dalam pasal 250 KUHD yang artinya sebagai berikut :
“Bahwa untuk
dapat ditutupnya perjanjian asuransi disyaratkan tertanggung harus mempunyai
kepentingan” Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka penanggung tidak diwajibkan
memberikan ganti kerugian.[12]
Dalam
hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis asuransi, di dalam KUHD
terdapat pula beberapa peraturan lainnya yang harus diperhatikan. Ketentuan
dimaksud antara lain :
Melarang
para pihak dalam perjanjian, baik pada waktu diadakannya perjanjian maupun
selama berlangsungnya perjanjian
asuransi
menyatakan melepaskan hal-hal yang oleh ketentuan undang-undang diharuskan
sebagai pokok suatu perjanjian asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah
dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian asuransi itu
batal.
b.
Pasal 257 KUHD
Disebutkan
bahwa perjanjian asuransi diterbitkan, seketika setelah ditutup, hak dan
kewajiban bertimbal balikdari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak
saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Dengan demikian perjanjian
asuransi merupakan perjanjian konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya
kata sepakat kedua belah pihak.
c.
Pasal 258 KUHD.
Mengatur mengenai
pembuktian adanya perjanjian asuransi. Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal
ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun
demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manalaka sudah
ada permulaan pembuktian dengan tulisan.
d.
Pasal 260 dan Pasal 261 KUHD
Mengatur
tentang asuransi yang ditutup dengan perantara makelar. Dari Pasal 260 KUHD
diketahui bahwa dalam hal perjanjian asuransi ditutup dengan perantara seorang
makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8
hari setelah ditutupnya perjanjian.
e.
Pasal 259 KUHD
Mengatur
mengenai perjanjian asuransi yang ditutup langsung oleh tertanggung dengan
penanggung, diharuskan pihak yang disebut terakhir ini menandatanganinya dalam
waktu 24 jam. Apabila waktu yang ditentukan di atas dilampaui, tertanggung
perlu memperhatikan
Pasal 261 KUHD yang menyatakan bahwa jika ada kelalaian, dalam hal-hal
yang ditentukan dalam Pasal 259 dan Pasal 260 KUHD tersebut, maka wajiblah
penanggung atau makelara yang bersangkutan memberikan ganti rugi kepada
tertanggung dalam hal timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian tersebut.
3.
Peratutan
perundang-undangan lainnya
a.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian.
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian.
c.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan
Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asuransi merupakan sebuah pertanggungan,
persetujuan dalam mana penanggung menjanjikan kepada yang mempertanggungkan
akan mengganti kerugian, yang disebabkan oleh suatu peristiwa (yang disebut
dalam perjanjiannya) masa depan yang lebih dahulu tidak dapat dipastikan. Untuk
jaminan ini orang yang mempertanggungkan harus membayar sejumlah uang yang
disebut premi kepada penanggung.
Di dalam sebuah asuransi setidaknya
terdapat empat unsur yakni : Pihak tertanggung (insured) yaitu seseorang / badan yang berjanji untuk
membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara
berangsur-angsur. Hak dari tertanggung adalah mendapatkan klaim asuransi,
kewajiban tertanggung adalah membayar premi kepada pihak asuransi; Pihak
penanggung (insure) yaitu suatu badan yang berjanji akan membayar sejumlah uang
(santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur
apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu. Hak dari
penanggung adalah mendapatkan premi, Kewajiban penanggung adalah memberikan
klaim sejumlah uang kepada pihak tertanggung apabila terjadi suatu hal yang
sudah diperjanjikan; Suatu peristiwa yang tak terntentu (tidak diketahui
sebelumnya); Kepentingan yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa
yang tak tertentu.
Sebuah
asuransi di Indonesia juga mempunyai payung hukum, baik dari pihak asuransi
maupun pihak yang mengikuti asuransi serta pihak-pihak lain yang terkait dalam
sebuah asuransi. Beberapa pengaturan mengenai asuransi terdapat dalam
KUHPerdata yakni pasal 1266, pasal 1253
s/d 1262 pasal 1318, pasal 1338, pasal 1324 dan pasal 1365;
dalam KUHD yakni : pasal 254, pasal 257, pasal 258, pasal 260 dan
Pasal 261, pasal 259; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Usaha Peransuransian; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang
Penyelenggaraan
Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
B.
Saran
Kelemahan dalam makalah saya ini hanya
berdasarkan penelusuran dari beberapa sumber teks yang masih tergolong sedikit.
Alangkah lebih baiknya mencantumkan lebih banyak lagi hasil dari penelusuran
sumber-sumber mengenai alat bukti, baik berupa referensi dari buku maupun dari
sumber lainnya, agar sajian makalah lebih beragam informasinya.
Daftar
Pustaka
Rejeki
Hartono, Sri. 2008. Hukum Asuransi dan perusahaan. Jakarta. Sinar Grafika.
R. Subekti.
1995. Aneka Perjanjian. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.
Shofie Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung. Citra Aditya Bakti.
Yayasan Kansius. 1977. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta.
Projdodikoro, Wirjono.
1982. Hukum
Asuransi Indonesia. Jakarta. Intermasa.
D. Susanto. 1955. IkhtisarTentang Pengertian dan
Perkembangan Asuransi Jiwa. Jakarta. Yayasan Darmasiswa Bumipetera.
Salim, A.Abbas. 1985. Dasar-dasar
Asuransi. Bandung. Tarsito.
Poejosubroto, Santoso.
1969. Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di
Indonesia.
Jakarta. Barata.
Abdul Kadir, Muhammad.
1983. Pokok-pokok Hukum Pertanggungan. Bandung. Alumni.
M. Suparman, dan Endang. 1993. Hukum
Asuransi. Bandung. Alumni.
[1] Premi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan setiap bulannya sebagai kewajiban
dari tertanggung atas keikutsertaannya di asuransi.
Besarnya premi atas keikutsertaan di asuransi yang harus dibayarkan telah
ditetapkan oleh perusahaan asuransi dengan memperhatikan keadaan-keadaan dari
tertanggung.
[2] Polis asuransi adalah suatu
kontrak yang menguraikan kewajiban perusahaan asuransi kepada pihak yang
membayar premi, yang dikenal sebagai pemegang kebijakan.
[3] Yusuf
Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung
: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.179.
[6] D.
Susanto, IkhtisarTentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa,
(Jakarta : Yayasan Darmasiswa Bumipetera, 1995), hal.1.
[8] Santoso
Poejosubroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia,
(Jakarta : Barata, 1969), hal. 82.
[10] Nama orang yang tercantum dalam
polis untuk menerima santunan apabila terjadi kematian pada Tertanggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar