Selasa, 09 Desember 2014

Asuransi Serta Payung Hukumnya

Asuransi Serta Payung Hukumnya


Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hukum Perikatan
Dosen pengampu: Bp. Ja’far Baehaqi



 disusun Oleh:

Ahmad Arif Hidayat                 122211018
Laeli Fajriyah                             122211041



FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Di zaman sekarang asuransi memegang peranan penting dalam memberikan kepastian proteksi bagi manusia yang bersifat komersial maupun bukan komersial. Asuransi dapat memberikan proteksi terhadap kesehatan, pendidikan, hari tua, harta benda maupun kematian. Salah satu kebutuhan hidup yang tak kalah penting di era globalisasi ini adalah kebutuhan akan jasa asuransi.
Seorang manusia di dalam suatu masyarakat sering menderita suatu kerugian karena akibat dari suatu peristiwa yang tidak terduga semula, misalnya mendapat kecelakaan dalam perjalanan di darat, di laut, atau di udara. Kalau kerugian ini hanya kecil sehingga dapat ditutup dengan uang simpanan, maka kerugian itu tidak begitu terasa. Lain halnya apabila uang simpanan tidak mencukupi untuk kerugian itu, maka orang akan betul-betul menderita. Untuk itulah, jaminan-jaminan perlindungan terhadap keadaan-keadaan tersebut di atas sangat diperlukan oleh setiap masyarakat yang ingin mengantisipasi apabila keadaan di luar dugaan yaitu resiko yang terjadi.
Resiko tidak lain adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa di luar kesalahannya, misalkan : rumah seseorang terbakar sehingga pemiliknya mengalami kerugian. Inilah resiko yang harus ditanggung pemiliknya. Karena besarnya resiko ini dapat di ukur dengan nilai barang yang mengalami peristiwa di luar kesalahan pemiliknya, resiko ini dapat di alihkan pada perusahaan asuransi kerugian dalam bentuk pembayaran klaim asuransi. Pengalihan resiko ini diimbangi dalam bentuk pembayaran premi[1] pada perusahaan asuransi kerugian (penanggung) setiap bulan atau tahun, bergantung pada perjanjian yang tertuang dalam polis[2]. Manfaat peraliahan resiko inilah yang diperoleh konsumen (tertanggung).[3]

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian perjanjian asuransi?
2.      Bagaimana pengaturan perjanjian asuransi?



II.      PEMBAHASAN
A.      Pengertian Perjanjian Asuransi
Istilah asuransi dalam bahasa Belanda adalah Verzekering dan dalam bahasa Inggris adalah Insurance yang berarti jaminan atau pertanggungan. Penulis-penulis Indonesia yang menggunakan istilah pertanggungan yaitu Soekardono dan Subekti, selanjutnya Wirjono Prodjodikoro untuk pertanggungan dipakai istilah asuransi.
Dalam hukum asuransi orang mempertanggungkan disebut Tertanggung sedangkan orang yang menanggung disebut Penanggung, sedangkanWirjono Prodjodikoro menggunakan istilah Terjamin untuk tertanggung dan Penjamin untuk penanggung.
Pengertian asuransi sebagaimana diuraikan dalam Ensiklopedia Umum adalah:
Asuransi adalah pertanggungan, persetujuan dalam mana penanggung menjanjikan kepada yang mempertanggungkan akan mengganti kerugian, yang disebabkan oleh suatu peristiwa (yang disebut dalam perjanjiannya) masa depan yang lebih dahulu tidak dapat dipastikan. Untuk jaminan ini orang yang mempertanggungkan harus membayar sejumlah uang yang disebut premi kepada penanggung.[4]
Pasal 246 KUHD merumuskan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diderita oleh karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Menurut Pasal 1 Sub 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan dalam KUHPerdata Buku III Bab XV Pasal 1774 ditegaskan bahwa asuransi termasuk dalam golongan persetujuan untung-untungan, yaitu suatu persetujuan yang hasilnya mengenai untung rugi bagi semua pihak maupun bagi sementara, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Bentuk lainnya adalah bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.
Di bawah ini selanjutnya dikemukakan beberapa pengertian asuransi dari berbagai pandangan para sarjana ataupun menurut apa yang terdapat di dalam undang-undang :
1.    Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa Asuransi (verzekering) yang berarti pertanggungan. Dalam asuransi terlibat dua pihak, yang satu sanggupakan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan diderita selaku akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadinya atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.[5]
2.    D. Sutanto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan asuransiadalah peniadaan resiko kerugian yang datangnya tak terduga sebelumnya yang menimpa seseorang dengan cara menggabungkan sejumlah besar orang atau manusia yangmenghadapi resiko yang sama dan merekaitu membayar premi yang besarnya cukup untuk menutup kerugian yang mungkin menimpa orang diantara mereka.[6]
3.    A. Abbas Salim memberikan definisiasuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian yang besar dan yang belum pasti.[7]
4.    Santoso Poejosubroto, memberikan definisi asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang di tunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang penanggung.[8]
5.    Abdul Kadir Muhammad, memberikan suatu definisi pertanggungan (asuransi) adalah merupakan suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang di harapkan yangmungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.[9]
6.    W. J. S. Poerwodarminta merumuskan bahwa asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak), pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak lain bila terjadi kecelakaan dan sebagainya. Sedang pihak yang lain akan membayar iuran.
Dalam asuransi terkandung adanya suatu resiko yang terjadinya belum dapat dipastikan. Di samping itu adanya pelimpahan atau pengalihan tanggung jawab memikul beban resiko dari pihak yang mempunyai beban tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab. Sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini, ia diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan atau ambil alih tanggung jawab yang disebut premi.
Dengan demikian pada hakekatnya asuransi merupakan suatu perjanjian yang menimbulkan ikatan timbal balik,yang didalamnya mencakup unsur-unsur yaitu :
1.    Asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian (schade verzekering) atau indemniteits contract.
2.    Adanya pihak-pihak yaitu pihak penanggung dan pihak tertanggung.
3.    Asuransi itu merupakan perjanjian bersyarat.
4.    Adanya premi yang dibayar oleh tertanggung.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa asuransi itu merupakan suatu persetujuan timbal balik yang berarti masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain, dimana dalam hal ini masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak penjamin akan membayar sejumlah uang kepada terjamin, apabila suatu peristiwa akan terjadi dimana masing-masing pihak tidak mengetahuinya kapan peristiwa tersebut terjadi. Di sini harus terdapat hubungan sabab akibat diantara peristiwa dan kerugian.

B.       Sumber Pengaturan Perjanjian Asuransi
Sekarang ini, peraturan asuransi yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian danperaturan organiknya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pengaturan hukum asuransi di Indonesia, dewasa ini antara lain dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang(KUHD) mulai Pasal 246 s/d Pasal 286. Adapun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan usaha perasuransian dalam hubungannya dengan perlindungan bagi pemegang polis adalah sebagai berikut:
1.         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Berdasarkan Pasal 1 KUHD,   ketentuan umum perjanjian dalam KUHPerdata dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi dengan kepentingan pemegang polis yang diperhatikan. Ketentuan dimaksud antara lain :
a.    Pasal 1266 KUHPerdata
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
 Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”
Jadi, alasan dikesampingkannya pasal tersebut di atas adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak, maka: Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266).
Sedangkan, mengenai akibat hukum dari dikesampingkannya pasal-pasal tersebut, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dalam bukunya “Perikatan pada Umumnya” (hal. 138) mengatakan:
 “Pada perikatan atau perjanjian yang diakhiri oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut (untuk ini lihat ketentuan Pasal 1340 jo. Pasal 1341 KUHPER). Yang dapat ditiadakan dengan pembatalan tersebut hanyalah akibat-akibat yang dapat terjadi di masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak pernah terjadi, dengan pengecualian terhadap hak-hak tertentu yang tetap dipertahankan oleh undang-undang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.“
 Jadi, akibat hukum dari dikesampingkannya pasal tersebut, pembatalan perjanjian tidak mengembalikan ke keadaan semula, melainkan hanya membatalkan perikatan dan perjanjian antar-para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang terbit akibat dari perjanjian tersebut tetap harus ditanggung oleh para pihak.
Contoh : A dan B melakukan perjanjian, pada suatu hari B dalam keadaan wanprestasi atas perjanjian yang telah dilakukan. Karena B tidak bisa memenuhi perjanjian yang telah dilakukan, maka A ingin membatalkan perjanjian. A tidak perlu mengajukan permohonan batal ke pengadilan melainkan bisa hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri.
b.    Pasal 1253 s/d 1262 KUHPerdata
Bahwa ahli waris dari pemegang polis/tertanggung dalam perjanjian asuransi juga mempunyai hak untuk dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut. Contoh : A telah mengikuti sebuah asuransi jiwa. Pada suatu hari A meninggal, ahli waris[10] dari A mempunyai hak untuk dilaksanakannya prestasi dari perjanjian antara A dan pihak asuransi.
c.    Pasal 1318 KUHPerdata
Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian bahwa tidak demikian maksudnya.
d.   Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
Mengatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya perkataan ”semua” dalam pasal tersebut berarti juga berlaku bagi perjanjian asuransi. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata melahirkan beberapa asas antara lain asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat dan asas kepercayaan.
e.    Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata
Berbunyi bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karenaalasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.dengan demikian apabila misalnya pemegang polis terlambat membayar premi maka penanggung tidak secara sepihak menyatakan perjanjian asuransi batal.
f.     Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3)
Menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik merupakan suatu dasar pokok dan kepercayaan yang menjadi landasan setiap perjanjian termasuk perjanjian asuransi dan pada dasarnya hukum tidak melindungi pihak yang beritikad buruk.
g.    Pasal 1339 KUHPerdata
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
h.    Pasal 1324 KUHPerdata
Mengenai menafsirkan perjanjian harus diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan perjanjian asuransi.
Pasal 1365 KUHPerdata
tentang perbuatan melanggar hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis apabila dapat membuktikan penanggung telah melakuakn perbuatan yang merugikannya.
2.         Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Sebagai sumber pengaturan yang utama dari perjanjian Asuransi terdapat dalam KUHD. Pengaturan Asuransi dalam KUHD adalah sebagai berikut:
a.    Buku I bab X diatur tentang beberapa jenis Asuransi yaitu Asuransi terhadap bahaya kebakaran, Asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipanen dan tentang Asuransi Jiwa.
b.    Buku II Bab IX mengatur tentang Asuransi terhadap bahaya laut dan   bahaya pembudakan.
c.     Bab X tentang Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan di perairan darat.[11]
Dalam peraturan Asuransi ada ketentuan yang bersifat memaksa dan peraturan yang bersifat menambah. Contoh ketentuan yang bersifat memaksa adalah seperti yang diatur dalam pasal 250 KUHD yang artinya sebagai berikut :
“Bahwa untuk dapat ditutupnya perjanjian asuransi disyaratkan tertanggung harus mempunyai kepentingan” Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian.[12]
Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis asuransi, di dalam KUHD terdapat pula beberapa peraturan lainnya yang harus diperhatikan. Ketentuan dimaksud antara lain :
a.    Pasal 254 KUHD
Melarang para pihak dalam perjanjian, baik pada waktu diadakannya perjanjian maupun selama berlangsungnya perjanjian
asuransi menyatakan melepaskan hal-hal yang oleh ketentuan undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian asuransi itu batal.
b.    Pasal 257 KUHD
Disebutkan bahwa perjanjian asuransi diterbitkan, seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balikdari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Dengan demikian perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat kedua belah pihak.
c.    Pasal 258 KUHD.
Mengatur mengenai pembuktian adanya perjanjian asuransi. Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manalaka sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan.
d.   Pasal 260 dan Pasal 261 KUHD
Mengatur tentang asuransi yang ditutup dengan perantara makelar. Dari Pasal 260 KUHD diketahui bahwa dalam hal perjanjian asuransi ditutup dengan perantara seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 hari setelah ditutupnya perjanjian.
e.    Pasal 259 KUHD
Mengatur mengenai perjanjian asuransi yang ditutup langsung oleh tertanggung dengan penanggung, diharuskan pihak yang disebut terakhir ini menandatanganinya dalam waktu 24 jam. Apabila waktu yang ditentukan di atas dilampaui, tertanggung perlu memperhatikan Pasal 261 KUHD yang menyatakan bahwa jika ada kelalaian, dalam hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 259 dan Pasal 260 KUHD tersebut, maka wajiblah penanggung atau makelara yang bersangkutan memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam hal timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian tersebut.
3.         Peratutan perundang-undangan lainnya
a.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
b.    Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian.
c.    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.


III.   PENUTUP
A.      Kesimpulan
Asuransi merupakan sebuah pertanggungan, persetujuan dalam mana penanggung menjanjikan kepada yang mempertanggungkan akan mengganti kerugian, yang disebabkan oleh suatu peristiwa (yang disebut dalam perjanjiannya) masa depan yang lebih dahulu tidak dapat dipastikan. Untuk jaminan ini orang yang mempertanggungkan harus membayar sejumlah uang yang disebut premi kepada penanggung.
Di dalam sebuah asuransi setidaknya terdapat empat unsur yakni : Pihak tertanggung (insured) yaitu seseorang / badan yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur.  Hak dari tertanggung adalah mendapatkan klaim asuransi, kewajiban tertanggung adalah membayar premi kepada pihak asuransi; Pihak penanggung (insure) yaitu suatu badan yang berjanji akan membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu.  Hak dari penanggung adalah mendapatkan premi, Kewajiban penanggung adalah memberikan klaim sejumlah uang kepada pihak tertanggung apabila terjadi suatu hal yang sudah diperjanjikan; Suatu peristiwa yang tak terntentu (tidak diketahui sebelumnya); Kepentingan yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tertentu.
Sebuah asuransi di Indonesia juga mempunyai payung hukum, baik dari pihak asuransi maupun pihak yang mengikuti asuransi serta pihak-pihak lain yang terkait dalam sebuah asuransi. Beberapa pengaturan mengenai asuransi terdapat dalam KUHPerdata yakni pasal 1266, pasal 1253 s/d 1262 pasal 1318, pasal 1338, pasal 1324 dan pasal 1365; dalam KUHD yakni : pasal 254, pasal 257, pasal 258, pasal 260 dan Pasal 261, pasal 259; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Peransuransian; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

B.       Saran
Kelemahan dalam makalah saya ini hanya berdasarkan penelusuran dari beberapa sumber teks yang masih tergolong sedikit. Alangkah lebih baiknya mencantumkan lebih banyak lagi hasil dari penelusuran sumber-sumber mengenai alat bukti, baik berupa referensi dari buku maupun dari sumber lainnya, agar sajian makalah lebih beragam informasinya.


Daftar Pustaka

Rejeki Hartono, Sri. 2008. Hukum Asuransi dan perusahaan. Jakarta. Sinar Grafika.
R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.
Shofie Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung. Citra Aditya Bakti.
Yayasan Kansius. 1977. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta.
Projdodikoro, Wirjono. 1982. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta. Intermasa.
D. Susanto. 1955. IkhtisarTentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa. Jakarta. Yayasan Darmasiswa Bumipetera.
Salim,  A.Abbas. 1985. Dasar-dasar Asuransi. Bandung. Tarsito.
Poejosubroto, Santoso. 1969. Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia. Jakarta. Barata.
Abdul Kadir, Muhammad. 1983. Pokok-pokok Hukum Pertanggungan. Bandung. Alumni.
M. Suparman, dan Endang. 1993. Hukum Asuransi. Bandung. Alumni.



[1] Premi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan setiap bulannya sebagai kewajiban dari tertanggung atas keikutsertaannya di asuransi. Besarnya premi atas keikutsertaan di asuransi yang harus dibayarkan telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi dengan memperhatikan keadaan-keadaan dari tertanggung.
[2] Polis asuransi adalah suatu kontrak yang menguraikan kewajiban perusahaan asuransi kepada pihak yang membayar premi, yang dikenal sebagai pemegang kebijakan.
[3] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal.179.
[4] Ensiklopedia Umum, Yayasan Kansius, Yogyakarta, 1977, hal.101.
[5] Wirjono Projdodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta : Intermasa, 1982), hal.5.
[6] D. Susanto, IkhtisarTentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa, (Jakarta : Yayasan Darmasiswa Bumipetera, 1995), hal.1.
[7] A.Abbas Salim, Dasar-dasar Asuransi, (Bandung : Tarsito, 1985), hal.1.
[8] Santoso Poejosubroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, (Jakarta : Barata, 1969), hal. 82.
[9] Abdul Kadir Muhammad, Pokok-pokok Hukum Pertanggungan, (Bandung : Alumni, 1983), hal.28.
[10] Nama orang yang tercantum dalam polis untuk menerima santunan apabila terjadi kematian pada Tertanggung.
[11] M. Suparman M dan Endang, Hukum Asuransi, (Bandung :Alumni, 1993), hal.16.
[12] Ibid, hal.16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar