BAB I
A.
PENDAHULUAN
Istilah
kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. BW (Burgerlijk
Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk
pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III
titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau
Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit
contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung oleh
pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,[1]
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,[2]
Mariam Darus Badrulzaman,[3]
Purwahid Patrik[4] dan
Tirtodiningrat[5] yang
menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.
Subekti[6]
menganggap istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit daripada
perjanjian/perikatan, karena kontrak ditujukan kepada perjanjian/perikatan yang
tertulis. Sedangkan Pothier membedakan contract dan convention (pacte).
Disebut convention yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk
menciptakan, menghapuskan atau meubah perikatan. Adapun Contract adalah
perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.[7]
Argumentasi
kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian disumbangkan oleh
Peter Mahmud Marzuki[8]
dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam
sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentng Verbintenissenrecht
(hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak
merupakan terjemahan dari Bahasa Inggeris Contract. Didalam konsep
kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia
tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan
dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini
mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu
berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian
yang bahasa Belanda-nya overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement
yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang
berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak
terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.”[9]Kamus
Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati
isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[10]
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian
yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak
lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu
luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan
di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi,
bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga
Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup
perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada
unsur persetujuan.[11]
R. Subekti mengemukakan perjanjian
adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[12]
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang
satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.”[13]
Dari pengertian-pengertian di atas dapat
dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :
1.
Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2.
Adanya subjek hukum
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian
termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui
bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian
yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum
Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga
badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan
Terbatas.
3.
Adanya prestasi
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.
4.
Di bidang harta
kekayaan Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih
pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau
“Kontrak Dagang”.[14]
Perjanjian
merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan
adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.
Perikatan
dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada
perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari
undangundang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena
undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir
dari undangundang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu
perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari
suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).
B.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :
1.
Adanya kesepakatan
kedua belah pihak
2.
Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum
3.
Adanya suatu hal
tertentu.
4.
Adanya sebab yang
halal.
Kedua
syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut
mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat
objektif karena mengenai objek dari perjanjian.
Keempat
syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Adanya kesepakatan
kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu
perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah
“persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui
orang lain.”[15]
Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan
secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya,
seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan
kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan
berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam
hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Persetujuan tersebut harus bebas, tidak
ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya
perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi
karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan,
paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak
dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya
“bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang
demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia
ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang
ternyata tidak benar.[16]
2.
Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum
Menurut
1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan
bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan
hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
Ada
beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu:
1.
Orang yang belum dewasa
Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam
keadaan belum dewasa.
2.
Orang yang ditaruh di
bawah pengampuan Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak
dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah
pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa.
Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka
seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap,
harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena
keborosannya.
3.
Orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat
(2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.
3.
Adanya suatu hal
tertentu
Suatu
hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah
suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332
KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu
asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4.
Adanya sebab yang halal
Di
dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa).
Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk
mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat
perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak
diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undangundang,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dari
uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak
dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak
ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu,
apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Keempat
syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat
sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH
Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan
suatu Undang-undang.
C.
Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian
dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai
berikut:[17]
a.
Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajibanpokok bagi
kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
b.
Perjanjian Cuma-cuma
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian
yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya
hibah.
c.
Perjanjian Atas Beban
Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu
merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
d.
Perjanjian Bernama
(Benoemd) Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
e.
Perjanjian Tidak
Bernama (Onbenoemd Overeenkomst) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalani KUH Perdata, tetapi terdapat dalam
masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama.
Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan
berkontrak mengadakan perjanjian.
f.
Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan
diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain (perjanjian yang
menimbulkan perikatan).
g.
Perjanjian Kebendaan
Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya
atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu
untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.
h.
Perjanjian Konsensual
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
i.
Perjanjian Riil Di
dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi
penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya
perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.
j.
Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari
kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.
k.
Perjanjian Pembuktian
Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian
apakah yang berlaku diantara mereka.
l.
Perjanjian
Untung-untungan Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya
ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.
m.
Perjanjian Publik
Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan
pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan
barang pemerintahan.
n.
Perjanjian Campuran
Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi
menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat
dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau
onbenoemde overeenkomst. Dalam Kamus Hukum, onbenoemde overeenkomst adalah
“perjanjian atau persetujuan yang tidak mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama.”
D.
Berakhirnya Perjanjian
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan
tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus
karena
a.
pembayaran;
b.
karena penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;
c.
karena pembaharuan
hutang;
d.
karena perjumpaan
hutang atau kompensasi;
e.
karena percampuran
hutang;
f.
karena pembebasan
hutangnya;
g.
karena musnahnya barang
yang terhutang;
h.
karena kebatalan atau
pembatalan;
i.
karena berlakunya suatu
syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;
j.
karena lewatnya waktu,
hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri".
Dalam buku Mariam
Darus, hapusnya perikatan dikarenakan beberapa hal yaitu :[18]
a.
Pembayaran Yang
dimaksud dengan pembayaran dalam Hukum Perikatan adalah setiap tindakan
pemenuhan prestasi. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah
“pembayaran”.
b.
Subrogasi Subrogasi
adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian itu
terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh
undang-undang. Misalnya, apabila pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur
kepada krediturnya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur
dengan kreditur asli.
c.
Tentang penawaran
pembayaran tunai, diikuti oleh penyimpanan atau penitipan Dalam hal perikatan dapat
hapus dengan penawaran pembayaran yang diikuti penyimpanan atau penitipan ini
di mana debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi kreditur
menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau barang yang akan
dibayarkan kepada kreditur di titipkan ke pengadilan guna dibayarkan kepada
kreditur.
d.
Pembaharuan Hutang
Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru.
e.
Musnahnya Barang yang
Terhutang Musnahnya barang yang terhutang ini adalah suatu barang tertentu yang
menjadi obyek perikatan dihapus dan dilarang oleh Pemerintah yang tidak boleh
diperdagangkan lagi. Dalam pasal 1553 KUH Perdata disebutkan bahwa jika selama
waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang
tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum.
f.
Pengoperan Hutang dan
Pengoperan Kontrak
Dalam
praktek selalu terjadi bahwa suatu kontrak dialihkan kepada pihak lain. Hal ini
terjadi misalnya pemilik suatu perusahaan memindahkan perusahaannya kepada
pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru tersebut akan mengambil alih juga
segala hak-hak dan kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut.
g.
Kompensasi atau
Perjumpaan Hutang
Kompensasi
itu terjadi apabila 2 (dua) orang saling berhutang l (satu) dengan yang lain, sehingga hutang-hutang tersebut
dihapuskan karena oleh Undangundang telah ditentukan bahwa terjadi suatu
perhitungan antara mereka. Misalnya, si A berhutang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) kepada si B dan si B mempunyai hutang sebesar Rp.5.000,- (lima
ribu rupiah) kepada si A, sehingga terjadi kompensasi antara mereka yang
menyebabkan si A hanya berhutang Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si
B.
h.
Percampuran Hutang
Dalam
hal pencampuran hutang ini biasanya dalam hal pewarisan, dimana debitur menjadi ahli waris si kredirur.
Apabila kreditur meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh
ahli warisnya dan menjadi lunas.
i.
Pembebasan Hutang
Pembebasan
Hutang adalah pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan
pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.
j.
Kebatalan dan
Pembatalan Perikatan
Alasan-alasan
yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan adalah kalau perikatan
tersebut cacat pada syarat-syarat yang objektif saja. Cacat tersebut adalah
objek yang melanggar undang-undang dan ketertiban umum.
Di samping hapusnya perjanjian
berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas dan Pasal 1381 KUH Perdata,
masih ada sebab lain berakhirnya perjanjian, yaitu :
1.
Jangka waktu yang
ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir;
2.
Adanya persetujuan dari
para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut;
3.
Ditentukan oleh Undang-undang
misalnya perjanjian akan berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak peserta
perjanjian tersebut;
4.
Adanya putusan hakim
dan;
5.
Tujuan yang dimaksud
dalam perjanjian telah tercapai.
E.
Wanprestasi
Apabila salah seorang debitur tidak
memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji
atau wanprestasi.
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :[19]
1.
Karena kesalahan
debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
2.
Karena keadaan
memaksa (overmacht), force majeure, jadi
di luar kemampuan debitur.
Mariam
Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi
tiga yaitu : [20]
1.
Debitur sama sekali
tidak memenuhi perikatan,
2.
Debitur terlambat
memenuhi perikatan,
3.
Debitur keliru atau
tidak pantas memenuhi perikatan.
Sama
halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga
keadaan wanprestasi, yaitu:
1.
Debitur tidak memenuhi
prestasi sama sekali,
2.
Debitur memenuhi
prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Dalam hal ini, debitur yang memenuhi
prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap
tidak memenuhi prestasi sama sekali.[21]
3.
Debitur memenuhi
prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Sementara itu, R. Subekti
menyebutkan wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seorang
debitur dapat berupa empat macam :[22]
a.
Tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukannya;
b.
Melaksanakan apa yang
dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat;
d.
Melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur
dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu
ditentukan tenggang waktu pelaksaanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hak
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi “tidak ditentukan”, perlu
memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah
ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur
dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam
perikatan.
Kreditur dapat menuntut debitur yang
telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut :20
a.
Kreditur dapat meminta
pemenuhan prestasi saja dari debitur;
b.
Kreditur dapat menuntut
prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata);
c.
Kreditur dapat menuntut
dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1
November 1918);
d.
Kreditur dapat menuntut
pembatalan perjanjian;
e.
Kreditur dapat menuntut
pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran
uang denda.
Seorang
debitur yang dituduh lalai dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan
pembelaan terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan
beberapa alasan. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :[23]
a.
Karena adanya keadaan
memaksa (overmacht atau force majeur)
b.
Mengajukan bahwa
kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus)
c.
Mengajukan bahwa
kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtvenverking)
a.
Keadaan Memaksa
(Overmacht atau Force majeur)
Bahwa
debitur tidak dapat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan karena adanya
hal-hal yang tidak terduga, dimana ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap
peristiwa yang terjadi di luar dugaan tersebut. Misalnya, bencana alam yang
menyebabkan musnahnya objek yang diperjanjikan. Seiring dengan perkembangannya,
keadaan memaksa itu tidak hanya bersifat mutlak tetapi ada juga yang bersifat
tidak mutlak yaitu debitur masih dapat melaksanakan perjanjian tetapi dengan
pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak sepantasnya pihak kreditur
menuntut debitur untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya, setelah diadakannya
suatu perjanjian, keluar suatu Peraturan Pemerintah yang melarang
dikeluarkannya suatu jenis barang yang merupakan objek perjanjian, dari suatu
daerah dengan ancaman hukuman berat bagi si pelanggar sehingga, kreditur tidak
dapat menuntut pemenuhan hak pelaksanaan perjanjian.
b.
Mengajukan bahwa
kreditur sendiri juga telah lalai (Exceptio non adimpleti contractus).
Debitur
yang dituduh telah lalai dan dituntut untuk membayar ganti rugi, dapat
mengajukan di depan Hakim bahwa kreditur sendiri juga telah lalai dalam
menepati janjinya. Misalnya, si pembeli menuduh si penjual terlambat
menyerahkan barangnya padahal si pembeli sendiri terlambat membayar uang muka.
Tentang Exceptio non adimpleti contractus ini tidak. diatur di dalam
Undang-undang dan merupakan suatu hukum yurispundensi yaitu hukum yang
diciptakan para hakim.
c.
Pelepasan hak
(rechstvenverking)
Alasan terakhir ini
merupakan suatu sikap pihak kreditur yang membuat pihak debitur menyimpulkan
bahwa kreditur tidak akan lagi menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli telah
membeli suatu barang dan ia mengetahui adanya suatu cacat tersembunyi atau
tidak berkualitas bagus, tetapi ia tidak menegur si penjual dan tetap memakai
barang tersebut sehingga dari sikapnya tersebut ia telah puas akan barang
tersebut maka, dalam hal ini sudah selayaknya tuntutannya tidak diterima oleh
hakim.
BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat kita tarik
sebuah kesimppulan bahwa gambaran secara umum tentang perjanjian atau perikatan
adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun
lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama.
Perjanjian merupakan sumber terpenting
dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu”.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ny Mariam Darus Badrulzaman, SH, Kompilasi Hukum
Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
2. Ny Mariam Darus Badrulzaman, SH, Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni,
Bandung, 1983.
3. A.A.Ngurah Gede Dirksen, SH, Pengantar Singkat
Mengenai Sumber Sumber dan Hapusnya Perikatan, Setia Kawan, Denpasar, 1985.
4.
Muttaqien, Dadan, 2009
“Perjanjian: Pengertian Pokok dan Teknik Perancangan”, makalah: FIAI-
UII
5.
A. Qirom, 1985, Pokok-
Pokok Hukum Perjajian Serta Perkembanganya, Yogyakarta: Liberty
[2]
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya:
Bina Ilmu, 1978, hlm. 84.
[3]
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi II, Cet. I, Bandung: Alumni, 1996,
hlm. 89.
[8]
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal Yuridika,
Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.
[9]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga,
Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal. 458.
[11] Mariam
Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi
Bandung. 2005, hal. 89. (Selanjutnya dise-but Mariam I).
[13] Salim MS, Hukum Kontrak, Teori &
Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. hal. 27.
(Selanjutnya disebut Salim HS I)
[14] Bahan
Kuliah Perancangan Kontrak, M. Husni, Tinjauan Umum Mengenai Hontrak. 2009. 11
Subekti, Op.Cit, hal.l.
[17] Mariam
Daris, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001, hal. Mi-69
(Selanjutnya disebut Mariam II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar